DIMPLED WOMAN
bismillah mawar
bismillah
langit
bismillah
laut
bismillah
bumi
bismillah
sekali janji dan
bismillah
hati
Melihatmu merupakan kepuasan tersendiri, begitu pun
mencintaimu adalah keinginan murni dari hati ini. Terlahir dari melihat yang
akhirnya mencintai. Itulah adanya. Ketertarikan hati ini yang menuntut aku
untuk berani kenal kamu, itu pula yang memaksa aku untuk terus bersama. Entah
akan menjadi kenyataan atau tidak, tapi yang pasti aku ingin.
Dari dorongan
rasa-ingin yang besar, yang pasti bukan dari otak. Karena otak masih bisa aku
manipulasi. Terus menerus mencambuk kesadaranku, akhirnya aku putuskan untuk
berkata bahwa aku cinta kamu. Ya, aku cinta kamu tanpa ada embel-embel
yang lain. Tanpa ada paksaan dari orang lain, hingga rasa itu ada. Aku ingin
mencintaimu seperti bunga yang mencintai harumnya. Shakespheare sendiri ketika menciptakan kisah Romeo and Juliet dilanda hembusan angin
kesegaran cinta dengan kekasih pujaan hatinya.
Ketidakpercayaan adalah lintasan awal yang kamu temui
dalam hati, dan aku tahu itu. Tapi itulah cinta, yang tidak bisa ditebak kapan
datang dan kapan dia pergi. Suka pada pandangan pertama, kemudian tumbuh
menjadi cinta. Mungkin kata-kata klasik ini bisa membuatmu mengerti. Atau kamu
tidak percaya akan kata-kata tadi? Tapi yang pasti perasaan itu yang kini ada
dalam belantara hatiku.
Kamu tahu? Untuk menjatuhkan vonis aku cinta kamu saja
harus mengumpulkan seluruh kesadaran dan keberanian yang ada pada diri ini.
Menaklukkan terjalnya ego. Hempaskan semua debu-debu kebimbangan yang menempel
pada keyakinanku, membabat habis benalu keculasan yang terus menggerogoti
kesadaranku.
Aku teringat celotehan yang diutarakan temanku yang dia
ambil dari puisinya Putut E.A ketika suatu malam di Parangtritis, bunyinya:
kau paham, puisi pun menyediakan ruang
bagi bait-bait cinta. Yang teduh yang jujur
yang selalu mendesirkan harum
bunga-bunga
Gombal? Aku rasa tidak. Jangan samakan aku dengan semua
lelaki yang kamu kenal atau lelaki yang kamu dengar dari teman-teman Hawa-mu
yang patah hati atau dikecewakan, yang mungkin semuanya aku yakin menyudutkan kaum-ku. Dengan adanya gombal
merupakan titik awal dari sebuah bencana yang siap memenjarakan kejujuran. Sisi
gelap dari sebuah keyakinan. Gombal menurutku ibarat candu, yang selalu dihisap
dalam kehidupan manusia penjajah nafsu. Terus menerus bergantung tanpa tahu
bagaimana cara melepaskannya.
Bohong? Aku paling tidak suka yang namanya
berbohong. Apalagi berbohong pada orang yang aku cintai. Haram bagiku untuk berbohong dalam masalah ini. Masa mencintai seseorang harus
dibumbui dengan kebohongan. Bagiku, embrio kebohongan akan lahir jika kita
menciptakan kebohongan pertama dan itu tidak akan bisa lepas dari kehidupan
kita, kebohongan kedua akan mengakar, kebohongan ketiga akan tumbuh di hati dan
kehidupan kita begitu juga seterusnya, akan menghipnotis hati kita tanpa pernah
bisa disadari.
Walaupun kebohongan adalah hal yang manusiawi, tapi dalam
hal ini aku berkata apa adanya. Bukankah agama kita menyerukan bahwa dengan
kebohongan sedikit demi sedikit akan mengikis amalan kita serta menutup cahaya
kebenaran yang selalu dipancarkan-Nya.
Merayu? Bagiku itu adalah hal yang wajar. Kamu sangatlah pantas untuk aku rayu.
Karena untuk mendapatkan sesuatu kita harus berusaha. Merayu buatku adalah
salah satu usaha yang halal baik menurut agama maupun negara. bagiku merayu
tidak sama dengan nge-gombal apalagi berbohong. Kalau ada orang yang mengatakan
itu salah, berarti dia tidak pernah mengenal agamanya dengan baik.
Tepat apa yang
dikatakan Erich Fromm bahwasanya cinta merupakan suatu seni, yang memerlukan pengetahuan dan
perjuangan. Untuk melakukan usaha merayu, pertama yang terlintas dalam otakku
adalah kata-kata indah. Dan untuk bisa merangkai kata-kata menjadi indah adalah
dengan aku menjalankan tadabur kata-kata dan bersenggama dengan buku-buku yang
berbicara tentang keindahan. Entah keindahan laut, keindahan tumbuhan,
keindahan hewan, dan bahkan keindahan Tuhan yang telah menciptakan keindahan
itu sendiri. Dan buatku merayu adalah sebagian dari ibadah.
Ketertarikanku bukan saja karena fisikmu yang sempurna,
yang telah diciptakan-Nya, tapi juga karena apa yang ada pada diri kamu
semua-semuanya. Baik itu kelebihan maupun kekurangan yang ada pada diri kamu,
bagiku seperti magnet yang bisa menarik rasa cinta. Selain paras yang sempurna,
kamu memiliki apa yang selama ini aku cari. Asal kamu tahu, untuk mendapatkan
apa yang aku cari tidaklah gampang. Itu memerlukan proses yang sulit dan berliku,
dan itu secara otomatis memakan waktu yang tidaklah singkat.
Aku bukan seorang petualang cinta yang dengan gampang
melemparkan kata cinta kepada semua wanita yang disukai. Tunggu dulu…. kamu
tentu tahu betul untuk membedakan apa itu suka dan apa itu cinta. Menurutku,
kita bisa suka kepada siapa saja, entah itu kepada teman laki-laki ataupun
teman wanita. Tapi untuk cinta. Nanti dulu. Karena dengan cinta, akhirnya Adam
dan Hawa bisa bertemu kembali di bumi yang gelap setelah sekian ratus tahun
diusir oleh-Nya dari surga.
Cinta adalah urusannya dengan hati, dan hati tidak bisa
dianggap main-main. Hati bagiku adalah “Jibrilnya” Tuhan yang menyampaikan
kebenaran kepada manusia. Dan jika ada manusia yang mengingkari apa kata
hatinya berarti dia …. Akh, kamu sendiri tahulah jawabannya.
Bukan dengan pertimbangan yang asal-asalan aku mencintai
kamu. Itu melalui beberapa tahap yang aku sendiri dalam melakukannya, mengakui
sangat berat. Karena aku harus bertarung dengan logika dan idealisme sendiri.
Seperti apa yang diutarakan Nabi Muhammad SAW: “Musuh yang paling berat adalah
diri kita sendiri”.
Kamu tahu, mengapa dan bagaimana sehingga aku memilih
kamu?
Pertama adalah kamu bisa jadi teman, dan bukti telah aku dapatkan
kemarin-kemarin. Kedua, kamu bisa
jadi adik, itu bisa terlihat dari tingkah-manjamu selama ini. Dan ketiga, kamu juga
bisa jadi kakak dan itu bisa dirasakan ketika aku membutuhkan perhatian dan
pengertian yang selama ini aku butuhkan.
Hal ini yang membuat aku yakin untuk mengambil keputusan
untuk mencintaimu. Dan yang membuat semakin yakin adalah kamu bisa menempatkan
semuanya itu pada posisinya. Karena wanita yang aku cintai adalah dia yang bisa
menempatkan sifat dan wataknya sesuai dengan posisi yang ada pada dirinya. Dan
menjadi kekasihmu adalah keinginanku yang belum aku dapatkan.
Itulah kenapa
disini aku terkesan ngotot untuk mendapatkanmu. Karena kesemua-semuanya itu ada pada diri kamu. Dan
aku tahu, kamu adalah orang yang selama ini aku cari, dan kamu jugalah orang
yang pantas mengisi relung hidupku untuk menapak bersama menuju masa depan.
Terbesit dalam
pikiranku tentang satu puisi lama karya Satirman Eka Ardhana yang dulu pernah aku baca. Isinya:
sebuah mata air kutemukan dalam bola matamu
demikian beningnya dalam pandangku
dan sementara aku masih lagi asyik membayangkannya
aku pun berpikir: ah, betapa sejuknya
jika mengisi gelas hatiku
Sebenarnya aku
tidak berharap terlalu tinggi dalam masalah ini. Yang aku inginkan adalah bahwa
kamu tahu akan apa yang ada di hati ini. Asal kamu tahu bahwa tidak ada dalam
kamus hidupku selama ini untuk berharap. Karena berharap, seperti apa yang
telah dikatakan J.P Sartre dan Nietzsche adalah sesuatu yang menyakitkan hati. Jika kita berharap terlalu banyak,
akan tetapi hasilnya jauh dari keinginan atau dugaan kita maka yang terjadi
adalah lahirnya mental-mental pecundang. Kamu tahu apa arti pecundang bagi
seorang laki-laki? Itu sama saja dengan pengkebirian sifat kejantanan seorang
laki-laki. Tapi tak apalah, yang terpenting adalah aku telah berusaha untuk jujur,
setidaknya pada diriku sendiri dan Tuhan. Bukankah untuk mendapatkan sesuatu
butuh pengorbanan, begitu juga dengan cinta.
Cinta bagiku
adalah L’amour ast l’enfant de la liberté. Anak kandung kebebasan. Cinta yang tidak pernah lahir
dari dominasi ataupun paksaan. Kebebasan kepada orang yang aku cintai untuk
melakukan apa saja yang menurutnya baik dan bisa membuat dia bahagia. Tanpa
pernah melarang apa yang ingin dia perbuat. Dia, yang aku cintai adalah orang
yang tahu akan arti kebebasan itu sendiri. Dan kamu… aku yakin
(seyakin-yakinnya) faham akan maksudku itu.
Lembaran kata-kata ini tidaklah sebanding dengan apa yang
ada di hati. Tapi menurutku cukup bisa untuk mewakili sebagian kecil apa yang
selama ini aku rasakan terhadapmu. Dan hati, menurutku adalah muara kebenaran
yang dititipkan sang Pengasih.
Bukanlah maksudku untuk menggurui, bukan pula untuk
menasehati kamu. Terlalu naïf. Ketidaktahuan adalah bagian dari hidupku. Aku hanya
belajar dari realita pengalaman hidup yang selama ini dapat aku ditemui.
Bukankah kita sepakat bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik? Dan pengalaman
pula yang membentuk kita untuk menghadapi kerasnya hidup? Dan dari pengalaman
pula kita tahu akan tujuan kita?
Maafkan aku, atas keegoisanku karena telah mengusik
ketenanganmu. Mengusik waktumu yang sebenarnya masih bisa bermanfaat untuk
mengurusi kepentinganmu. Maafkan aku, atas kelancangan atau mungkin lebih
tepatnya kekurangajaran yang tak berguna ini. Maafkan aku, karena kebodohanku
yang tidak bisa mengetahui suasana hatimu saat ini. Dan sekali lagi maafkan
aku, karena telah mencintaimu. Tapi aku harus mengatakan ini semuanya. Agar
kamu tahu bahwa masih ada cinta yang tulus dan orang yang mencintaimu.
Mungkin kenyataan ini sangat getir untukmu, dan itu sulit
untuk bisa kamu terima. Tidak semuanya kebenaran itu menyenangkan. Terkadang
kebenaran itu sangatlah pahit, lebih pahit dari Brotowali, sehingga dari baunya
saja kamu sudah merasa jijik. Tapi pahit menurutku juga bisa dijadikan obat
untuk menyembuhkan penyakit yang kita derita.
Untuk mengakhiri coretan kejujuranku ini, aku hanya ingin
mengatakan sesuatu padamu.
“Di dalam cinta yang ada hanya rasa saling menjaga, percaya, pengertian, perhatian, kasih sayang dan satu lagi yang membuat cinta itu sendiri semakin ada, yaitu cemburu. Selain itu, adalah debu”.
Dear: Perempuan berlesung pipit.
“Di dalam cinta yang ada hanya rasa saling menjaga, percaya, pengertian, perhatian, kasih sayang dan satu lagi yang membuat cinta itu sendiri semakin ada, yaitu cemburu. Selain itu, adalah debu”.
Dear: Perempuan berlesung pipit.
Komentar
Posting Komentar